Bumi Terancam Masuki Fase Doom Loop Perubahan Iklim
beritabumi.web.id Para ilmuwan iklim kini memperingatkan bahwa Bumi sedang bergerak menuju fase berbahaya yang disebut “doom loop” perubahan iklim.
Istilah ini menggambarkan kondisi di mana perubahan iklim tidak hanya memperburuk dirinya sendiri, tetapi juga menciptakan siklus kehancuran yang sulit dihentikan.
Fenomena ini dipicu oleh meningkatnya suhu global, pencairan es di kutub, deforestasi, dan aktivitas manusia yang terus menambah emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Ketika sistem alam melewati batas kestabilannya, perubahan yang terjadi dapat menjadi tidak dapat dipulihkan, bahkan jika manusia berhenti memproduksi emisi sekalipun.
Titik Kritis Iklim dan Bahayanya bagi Bumi
Dalam laporan ilmiah terbaru yang dirilis oleh sekelompok peneliti internasional, disebutkan bahwa Bumi kini mendekati beberapa titik kritis (climate tipping points).
Titik kritis ini adalah batas di mana perubahan kecil dapat memicu pergeseran besar dalam sistem iklim global, menyebabkan efek domino yang meluas ke seluruh planet.
Beberapa titik kritis utama yang menjadi perhatian para ilmuwan meliputi:
- Runtuhnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan
Pencairan ini akan mempercepat kenaikan permukaan laut dan memperburuk badai pesisir. - Pelepasan karbon dari permafrost
Tanah beku di Siberia dan Alaska menyimpan miliaran ton metana dan karbon dioksida. Ketika mencair, gas-gas itu lepas ke udara, mempercepat pemanasan global. - Kematian massal hutan hujan Amazon
Hutan yang selama ini berperan sebagai paru-paru dunia justru dapat berubah menjadi sumber emisi karbon besar jika terlalu banyak ditebang atau terbakar.
Ketika satu titik kritis terlewati, hal itu dapat memicu titik kritis lainnya. Inilah yang membuat fenomena doom loop sangat berbahaya—karena kerusakan satu sistem alam dapat menimbulkan reaksi berantai di seluruh ekosistem global.
Efek Domino dari Pemanasan Global
Pemanasan global yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan polusi industri menciptakan lapisan gas rumah kaca yang semakin tebal di atmosfer.
Gas seperti karbon dioksida (CO₂) dan metana (CH₄) memerangkap panas dari sinar matahari, menyebabkan suhu rata-rata Bumi terus meningkat.
Kondisi ini menciptakan efek domino yang menakutkan.
Ketika suhu naik, es di kutub mencair, dan permukaan laut menjadi lebih gelap sehingga menyerap lebih banyak panas.
Ini mempercepat pemanasan di wilayah kutub—fenomena yang disebut amplifikasi Arktik.
Kutub Utara kini memanas empat kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global, dan hal itu mengubah sirkulasi udara serta pola cuaca di seluruh dunia.
Akibatnya, bencana iklim seperti badai ekstrem, kekeringan panjang, serta kebakaran hutan semakin sering terjadi.
Fenomena cuaca ekstrem yang dahulu dianggap langka kini muncul setiap tahun dengan intensitas yang meningkat.
Lapisan Es yang Terus Menipis
Studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga ilmiah menunjukkan bahwa lapisan es di Greenland dan Antartika Barat terus kehilangan massa sejak dekade 1990-an.
Pelelehan ini bukan hanya menambah volume air laut, tetapi juga mengubah distribusi berat Bumi, memengaruhi rotasi dan kestabilan gravitasi planet.
Beberapa ilmuwan menduga bahwa ambang batas keruntuhan lapisan es ini mungkin sudah terlewati tanpa disadari.
Artinya, sekalipun manusia berhasil menurunkan emisi karbon drastis, pencairan bisa tetap berlanjut selama berabad-abad.
Kenaikan permukaan laut akibat pencairan es diperkirakan dapat menenggelamkan puluhan kota besar di pesisir, termasuk Jakarta, Bangkok, dan Manila.
Bagi ratusan juta manusia yang tinggal di wilayah pantai, ini bukan lagi ancaman masa depan—tetapi realitas yang mulai terasa hari ini.
Target Global yang Masih Sulit Dicapai
Perjanjian Paris menetapkan target untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5°C dibandingkan era praindustri.
Namun laporan terbaru dari berbagai lembaga riset menunjukkan bahwa dunia sedang melampaui target itu.
Jika tren emisi saat ini terus berlanjut, pemanasan global bisa mencapai 2,5°C hingga 3°C pada akhir abad ini—angka yang cukup untuk mengacaukan ekosistem dunia.
Profesor William Ripple dari Oregon State University memperingatkan bahwa waktu untuk bertindak semakin sempit.
“Setiap tahun penundaan akan meningkatkan risiko dan biaya. Kita masih bisa membatasi kerusakan, tapi harus bertindak seperti menghadapi keadaan darurat global,” ujarnya dalam sebuah wawancara ilmiah.
Laporan yang ia pimpin menekankan bahwa jika suhu global terus meningkat melewati 1,5°C, banyak sistem alam tidak akan mampu menyesuaikan diri lagi.
Dengan kata lain, manusia sedang bermain dengan batas ketahanan planetnya sendiri.
Langkah Mendesak untuk Mencegah Doom Loop
Untuk menghindari skenario terburuk, para ilmuwan menyerukan langkah-langkah konkret dan segera.
Beberapa rekomendasi utama meliputi:
- Pengurangan Emisi Secara Drastis
Negara-negara industri harus memangkas penggunaan batu bara, minyak, dan gas alam, serta beralih ke energi terbarukan. - Perlindungan dan Rehabilitasi Hutan Tropis
Hutan seperti Amazon, Kalimantan, dan Kongo adalah benteng alami penyerap karbon yang harus dijaga dari penebangan dan kebakaran. - Transisi Energi Bersih
Investasi besar dalam energi surya, angin, dan hidrogen hijau menjadi kunci utama mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. - Adaptasi Komunitas Lokal
Masyarakat pesisir, petani, dan wilayah rawan bencana perlu mendapatkan dukungan untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang sudah tak terhindarkan.
Kesimpulan: Waktu yang Hampir Habis untuk Bumi
Dunia kini berada di persimpangan sejarah.
Jika manusia gagal menahan laju pemanasan global, Bumi bisa memasuki fase doom loop, di mana perubahan iklim saling memperkuat dan menjadi tidak terkendali.
Sistem alam yang selama ini menopang kehidupan—laut, hutan, atmosfer, dan es kutub—dapat runtuh secara perlahan namun pasti.
Namun harapan masih ada.
Teknologi energi bersih berkembang pesat, kesadaran publik meningkat, dan tekanan terhadap pemimpin dunia untuk bertindak semakin besar.
Kunci utamanya adalah kemauan kolektif untuk bergerak cepat dan konsisten.
Bumi bukan sekadar tempat tinggal—ia adalah sistem kehidupan yang rapuh namun menakjubkan.
Jika manusia memilih untuk melindunginya sekarang, masih ada waktu untuk membalikkan arah sebelum planet ini benar-benar terjebak dalam siklus kehancuran yang tak berujung.

Cek Juga Artikel Dari Platform infowarkop.web.id
