China Dorong Perdamaian Konflik Kamboja–Thailand
Ketegangan di perbatasan Kamboja dan Thailand kembali menyita perhatian dunia internasional. Konflik yang pecah sejak awal Desember 2025 ini telah menimbulkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur, serta gelombang pengungsian besar di kedua negara. Di tengah situasi yang terus memburuk, China mengambil peran aktif dengan mendorong penghentian konflik dan membuka jalan menuju perundingan damai.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, melakukan pembicaraan melalui sambungan telepon dengan Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn dan Menteri Luar Negeri Thailand Sihasak Phuangketkeow pada Kamis (18/12). Dalam percakapan tersebut, kedua pihak menyampaikan perkembangan terbaru di lapangan dan menyatakan kesiapan untuk mempertimbangkan gencatan senjata.
Langkah diplomatik ini menjadi sinyal penting di tengah meningkatnya eskalasi militer. Sejak bentrokan kembali pecah di wilayah perbatasan, situasi keamanan di kawasan tersebut terus memburuk. Serangan artileri, pengerahan jet tempur, hingga pertempuran darat dilaporkan terjadi secara berulang.
China Tekankan Pentingnya Menghentikan Eskalasi
Dalam pernyataannya, Wang Yi menegaskan bahwa China tidak ingin melihat dua negara tetangganya terjebak dalam konflik terbuka. Ia menyampaikan penyesalan mendalam atas jatuhnya korban sipil akibat bentrokan tersebut. Menurut Wang Yi, konflik kali ini memiliki intensitas yang jauh lebih tinggi dibanding insiden sebelumnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kelanjutan konflik hanya akan merugikan kedua negara. Selain berdampak pada stabilitas nasional, ketegangan ini dinilai berpotensi merusak persatuan ASEAN sebagai kawasan yang menjunjung prinsip kerja sama dan dialog.
China menilai keputusan untuk menghentikan serangan menjadi langkah paling krusial saat ini. Wang Yi menekankan pentingnya menghentikan dampak konflik secepat mungkin. Ia juga mengajak kedua pihak untuk membangun kembali kepercayaan yang telah terkikis akibat eskalasi militer.
Dorongan Mediasi ASEAN dan Peran China
China secara terbuka menyatakan dukungan terhadap peran ASEAN sebagai mediator utama dalam konflik ini. Wang Yi menegaskan bahwa pembicaraan damai harus dilakukan secara adil dan setara. Ia menilai pendekatan dialog menjadi satu-satunya jalan keluar yang berkelanjutan.
Sebagai bentuk keseriusan, China telah mengirim Utusan Khusus Kementerian Luar Negeri untuk Urusan Asia ke Kamboja dan Thailand. Utusan tersebut ditugaskan melakukan komunikasi ulang-alik guna menjembatani kepentingan kedua negara dan menurunkan ketegangan di lapangan.
China juga menegaskan komitmennya untuk terus memainkan peran konstruktif. Namun, Wang Yi mengingatkan bahwa tanggung jawab utama tetap berada di tangan Kamboja dan Thailand. Kedua negara diminta mengambil langkah nyata demi memastikan keamanan proyek serta personel China di wilayah terdampak konflik.
Selain itu, Wang Yi meminta kedua pihak berhati-hati dalam menyebarkan informasi publik. Pernyataan yang tidak akurat dinilai dapat memperkeruh situasi dan merusak hubungan persahabatan dengan China.
Respons Kamboja dan Thailand
Baik Kamboja maupun Thailand menyambut positif pendekatan China. Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn menyampaikan apresiasi atas posisi China yang dinilai objektif dan adil. Ia juga menyatakan kesiapan Phnom Penh untuk membuka ruang dialog.
Hal senada disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Thailand Sihasak Phuangketkeow. Pemerintah Thailand menyatakan terbuka terhadap upaya mediasi dan berharap China dapat memainkan peran lebih besar dalam memulihkan stabilitas kawasan.
Kedua negara sepakat bahwa kehadiran utusan China dapat membantu membuka jalur komunikasi yang lebih intensif. Harapan besar pun muncul agar gencatan senjata dapat segera terwujud.
Situasi Lapangan Masih Memanas
Meski upaya diplomasi terus berjalan, situasi di lapangan masih jauh dari kondusif. Thailand dilaporkan melancarkan serangan udara menggunakan jet tempur F-16 ke wilayah Phnom Kmoch dan Puncak Sbeak. Militer Thailand mengklaim serangan tersebut menargetkan fasilitas yang digunakan jaringan penipuan transnasional.
Tentara Kerajaan Thailand menyebut telah menghancurkan lebih dari enam bangunan sejak konflik kembali berkobar. Bangunan tersebut disebut mencakup kasino dan hotel yang diduga menjadi pusat aktivitas ilegal.
Di sisi lain, Kementerian Pertahanan Kamboja menuduh Thailand melakukan serangan membabi buta. Serangan artileri dan pemboman udara dilaporkan menghantam sejumlah desa dan memicu kepanikan warga sipil.
Korban jiwa terus bertambah. Dari pihak Thailand, 21 tentara dan 16 warga sipil dilaporkan tewas. Sementara itu, Kamboja mencatat 18 warga sipil meninggal dunia dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Sekitar 700 ribu orang dari kedua negara terpaksa mengungsi.
Tantangan Perdamaian Jangka Panjang
Konflik ini memperlihatkan rapuhnya kesepakatan damai sebelumnya. Perjanjian damai yang ditandatangani pada Oktober 2025 di Kuala Lumpur, dengan disaksikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, kini praktis tidak lagi berjalan.
Insiden ranjau darat yang melukai tentara Thailand serta penahanan prajurit Kamboja semakin memperumit upaya rekonsiliasi. Kedua pihak saling menuduh sebagai pemicu konflik terbaru.
Amerika Serikat dan Malaysia juga telah menyatakan keprihatinan. Presiden AS dijadwalkan melakukan komunikasi langsung dengan para pemimpin Kamboja dan Thailand. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pun aktif mendorong penghentian permusuhan.
Harapan bagi Stabilitas Asia Tenggara
Konflik Kamboja–Thailand bukan hanya persoalan bilateral. Ketegangan ini berdampak luas pada stabilitas Asia Tenggara. Penutupan perbatasan darat sejak Juli lalu telah mengganggu aktivitas ekonomi dan mobilitas masyarakat lintas negara.
Dalam konteks ini, peran China menjadi sorotan. Pendekatan diplomatik yang menekankan dialog dan mediasi diharapkan mampu mencegah konflik semakin meluas. Dukungan terhadap mekanisme ASEAN juga menjadi sinyal penting bagi penyelesaian konflik berbasis kawasan.
Jika gencatan senjata berhasil dicapai, langkah berikutnya adalah membangun kepercayaan jangka panjang. Tanpa komitmen kuat dari kedua negara, konflik berpotensi kembali berulang.
Bagi kawasan Asia Tenggara, perdamaian Kamboja–Thailand bukan sekadar soal perbatasan. Ini adalah ujian nyata bagi stabilitas regional, solidaritas ASEAN, dan efektivitas diplomasi multilateral di tengah dinamika geopolitik global yang semakin kompleks.
Baca Juga : Yaqin dan Pratiwi Sumbang Emas Triathlon untuk Indonesia
Jangan Lewatkan Info Penting Dari : capoeiravadiacao

