Universitas Pertamina Kunjungi Pusat Gempa dan Tsunami BMKG untuk Tingkatkan Kesadaran Bencana
beritabumi.web.id Mahasiswa Teknik Geofisika Universitas Pertamina mendapat kesempatan langka untuk mengunjungi Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Jakarta.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program kunjungan industri yang bertujuan meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang mitigasi bencana, serta memperkuat kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi ancaman geofisika di Indonesia.
Dalam sambutan pembuka, pihak BMKG menyampaikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan risiko bencana paling tinggi di dunia.
Letaknya yang berada di pertemuan empat lempeng besar — Indo-Australia, Eurasia, Pasifik, dan Filipina — menjadikan wilayah nusantara sangat aktif secara tektonik.
Kondisi ini menciptakan 13 zona megathrust dan hampir 300 sesar aktif yang bisa memicu gempa bumi kapan saja.
“Pemahaman akan kondisi geologi ini sangat penting, karena setiap gempa yang terjadi berpotensi berulang di lokasi yang sama. Kita tidak bisa memprediksi waktu kejadiannya, tetapi kita bisa meminimalkan dampaknya melalui kesiapsiagaan,” ujar Syafira Ajeng Aristy, perwakilan dari Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG.
Menjelajahi Jantung Sistem Peringatan Dini Indonesia
Setelah mendapatkan pengantar ilmiah, para mahasiswa diajak menuju Ruang Operasional Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS).
Ruang ini menjadi pusat kendali nasional dalam memantau dan mengeluarkan peringatan dini tsunami di seluruh Indonesia.
Sistem tersebut beroperasi 24 jam tanpa henti, melibatkan jaringan sensor gempa, buoy, dan data dari satelit serta stasiun pasang surut di berbagai daerah pesisir.
Rombongan disambut oleh tim operasional yang dipimpin oleh Rian Setiadi, salah satu analis senior di BMKG.
Ia menjelaskan bahwa ketika gempa besar terdeteksi, tim harus bergerak sangat cepat.
“Begitu sistem merekam aktivitas seismik, kami hanya punya waktu maksimal tiga menit untuk menganalisis data, menentukan potensi tsunami, dan menyebarkan peringatan dini ke seluruh instansi terkait,” jelasnya.
Peringatan tersebut dikategorikan dalam tiga level ancaman, yakni Waspada, Siaga, dan Awas, tergantung pada kedalaman pusat gempa dan mekanisme patahannya.
Apabila gempa terjadi di laut dengan kedalaman dangkal dan pergerakan vertikal, potensi tsunami akan lebih besar.
BMKG menggunakan sistem pendukung analisis bernama TOAST (Tsunami Observation And Simulation Terminal).
Aplikasi ini memungkinkan petugas mensimulasikan potensi tinggi gelombang dan waktu kedatangan tsunami berdasarkan data real-time.
Setiap informasi yang dikeluarkan akan diperbarui secara berkala sesuai hasil observasi lapangan.
“Informasi peringatan dini terus kami mutakhirkan. Namun, masyarakat harus tahu bahwa waktu paling berharga adalah sesaat setelah guncangan terjadi. Jangan menunggu peringatan datang—begitu gempa kuat terasa, segera cari tempat aman di dataran tinggi,” tambah Rian.
Simulasi Gempa: Dari Teori ke Pengalaman Nyata
Bagian paling menarik dari kunjungan ini adalah sesi simulasi gempa bumi di Ruang Simulator BMKG.
Peserta diajak merasakan langsung bagaimana guncangan dengan magnitudo besar dapat memengaruhi keseimbangan dan respons tubuh.
Sesi ini dipandu oleh Rani Fitri Febriyanti, fasilitator edukasi kebencanaan BMKG.
“Di simulator ini, teman-teman bisa merasakan bagaimana rasanya berada di tengah gempa 6 hingga 8 magnitudo. Tujuannya bukan untuk menakut-nakuti, melainkan melatih respon otomatis agar bisa melindungi diri saat bencana terjadi,” ujarnya di tengah suasana antusias para mahasiswa.
Peserta kemudian mempraktikkan prosedur “Drop, Cover, and Hold On”, yakni menunduk, berlindung di bawah meja kokoh, dan bertahan hingga guncangan berhenti.
Menurut Rani, latihan sederhana ini dapat menyelamatkan banyak nyawa jika dilakukan dengan benar.
Sinergi Pendidikan dan Lembaga Pemerintah untuk Ketahanan Bencana
Kunjungan ini bukan hanya kegiatan akademik, tetapi juga bentuk kolaborasi antara BMKG dan Universitas Pertamina dalam memperkuat ekosistem pendidikan kebencanaan di Indonesia.
Dengan melibatkan mahasiswa teknik geofisika, diharapkan lahir generasi muda yang mampu memahami dinamika bumi secara ilmiah sekaligus berkontribusi pada kebijakan mitigasi bencana di masa depan.
Selain memperoleh pengetahuan teknis, para mahasiswa juga diajak berdiskusi mengenai peran perguruan tinggi dalam riset kebencanaan, sistem sensor seismik, dan pemodelan tsunami berbasis data numerik.
Menurut dosen pendamping, kunjungan seperti ini sangat penting untuk memperluas perspektif mahasiswa tentang bagaimana ilmu yang mereka pelajari di kelas diterapkan secara nyata oleh lembaga nasional.
“Mahasiswa bisa melihat langsung bagaimana teori geofisika diterjemahkan menjadi sistem yang melindungi jutaan jiwa. Ini pengalaman yang tidak ternilai,” kata salah satu dosen pendamping.
Membangun Budaya Sadar Bencana di Kalangan Generasi Muda
Kegiatan edukatif ini menjadi momentum penting dalam membangun budaya sadar bencana di kalangan mahasiswa.
Indonesia, dengan kompleksitas geografisnya, membutuhkan masyarakat yang memiliki literasi kebencanaan tinggi—bukan hanya aparat atau relawan, tetapi setiap individu.
Melalui kunjungan ini, BMKG berharap dapat menanamkan kesadaran bahwa kesiapsiagaan harus dimulai dari diri sendiri.
Mahasiswa sebagai agen perubahan diharapkan mampu menjadi penggerak edukasi mitigasi bencana di kampus dan komunitas masing-masing.
Seperti yang disampaikan oleh perwakilan Universitas Pertamina, kegiatan ini menjadi bukti bahwa pendidikan kebencanaan tidak hanya tentang teori, tetapi tentang empati dan tanggung jawab sosial.
“Mahasiswa harus mampu menerjemahkan ilmu menjadi tindakan. Dari sini mereka bisa belajar bagaimana teknologi, sains, dan koordinasi manusia menyelamatkan nyawa,” ujarnya menutup kegiatan.
Kesimpulan: Dari Kunjungan Menjadi Komitmen Bersama
Kunjungan mahasiswa Universitas Pertamina ke Pusat Gempa dan Tsunami BMKG menjadi pengingat bahwa ilmu pengetahuan dan kesiapsiagaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Melalui edukasi lapangan, para peserta memahami betapa pentingnya kesiapan mental, sistem peringatan dini, dan kerja sama lintas sektor dalam menghadapi bencana alam.
Dengan kegiatan semacam ini, kolaborasi antara dunia akademik dan lembaga pemerintah semakin kuat.
Harapannya, kesadaran dan pengetahuan yang diperoleh mahasiswa tidak berhenti di ruang kelas, tetapi berkembang menjadi gerakan nyata untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana geofisika di masa depan.

Cek Juga Artikel Dari Platform kalbarnews.web.id
